Pekerja Indonesia di Taiwan Diperkosa Lima Kali Seminggu, Ini Pengakuannya

Bunga (nama samaran) saat menceritakan kejadian yang dialaminya.

 

Bunga (nama samaran) saat menceritakan kejadian yang dialaminya.

TAIWAN – Lebih dari 100 kasus penyerangan seksual terhadap pekerja migran yang dilaporkan di Taiwan terjadi setiap tahun. Para pelakunya hampir selalu majikan para migran, kerabat terdekat, atau makelar penyalur kerja, seperti dikutip dari BBC.

Salah satu pekerja asal Indoensia berusia 22 tahun di Taiwan yang tidak mau disebutkan idenditasnya menceritakan Ia baru datang pertama kali di Taiwan untuk mendapatkan uang demi menopang keluarganya.

Namun, tak lama setelah mulai bekerja di sebuah restoran, dia mengklaim adik majikannya memperkosanya. Pria tersebut adalah orang yang mengantarnya ke restoran setiap pagi sehingga dia bisa menyiapkan makanan sebelum staf lain dan para pelanggan datang.

“Pertama kali dia memperkosa saya ketika satu atau dua bulan setelah saya mulai bekerja di sana. Peristiwa itu terjadi pada pagi hari setelah dia mengantarkan saya ke restoran. Tiada orang lain di sana. Saya tidak bisa menghentikan dia dan tidak bisa minta tolong. Saya hanya bisa menangis. Saya pikir dia hanya melakukan itu satu kali, namun itu terjadi lagi dan lagi. Dia memperkosa saya tiga hingga lima kali dalam seminggu,” kata bunga, nama samarannya.

Awalnya, Bunga tidak mengerti bahasa Mandarin, tidak tahu ke mana harus meminta tolong, dan bahkan dia tidak punya telepon seluler atau punya waktu untuk berteman.

Selagi tindak pemerkosaan berlanjut, dia tidak menceritakannya ke siapapun, termasuk ke majikan atau makelar penyalur kerja.

“Mereka akan mengatakan itu salah saya. Saya takut mereka akan mengirim saya pulang. Saya baru tiba di sini. Saya berutang Rp25 juta kepada makelar. Saya harus membayar utang setiap bulan dan jumlahnya lebih dari utang sebenarnya karena mencakup bunga. Saya takut jika mereka mengirim saya pulang, saya tidak sanggup membayar utang,” beber Bunga.

Seperti kebanyakan pekerja migran lainnya, dia berutang kepada makelar penyalur kerja asal Indonesia yang mencarikannya pekerjaan dan membelikannya tiket pesawat. Ditambah bunga utang, yang sudah mencapai Rp40 juta, jumlah yang baru bisa dibayar Bunga setidaknya selama setahun dari menyisihkan gaji.

Selain membayar utang ke makelar asal Indonesia, Bunga juga harus membayar biaya bulanan dan pungutan liar kepada makelar Taiwan. Perasaan malu juga membuat Bunga tidak menceritakan derita yang dia alami kepada siapapun, termasuk keluarganya.

“Budaya di kampung halaman, orang-orang berpikir perempuan yang telah diperkosa itu kotor. Saya merasa malu dan kotor. Saya khawatir orang-orang akan memandang saya dengan rendah. Saya tidak ingin bercerita kepada siapapun. Bahkan hingga kini saya tidak bercerita kepada ibu saya karena dia akan sangat sedih jika tahu,” kata Bunga.

Bunga mengakui, tidak ada seorang pun yang curiga dengan adik majikannya. Sebab, dia sangat berpura-pura tidak mengenal saya ketika ada orang lain di sekitar.

Bunga jarang berinteraksi dengan orang lain, meskipun dia bekerja di sebuah restoran yang padat pengunjung.

“Jam kerja saya sangat lama. Saya mulai bekerja pukul 06.00 untuk menyiapkan makanan bagi pengunjung dan bersih-bersih sampai pukul 22.00 atau 23.00. Pada akhir pekan, bisa lebih lama. Saya tidak bisa bicara kepada siapapun saat bekerja, majikan ingin saya terus bekerja. Selama 16 bulan saya bekerja di sana, saya hanya punya satu hari libur pada Hari Raya Imlek. Saya harus bekerja bahkan ketika saya sakit,” ungkap Bunga.

Pemerintah Taiwan tidak memastikan para pekerja migran mendapat waktu libur secara rutin atau meninjau kesejahteraan mereka. Urusan semacam itu diserahkan kepada makelar penyalur kerja, yang hanya peduli pada kepentingan majikan.

Sejumlah kelompok pelindung hak asasi manusia mengatakan peristiwa yang menimpa Bunga bukan satu-satunya kasus yang terjadi di Taiwan.

“Mereka terlalu takut mengadu kepada polisi, utamanya karena gaji mereka dikurangi atau disimpan oleh majikan. Mereka harus membayar biaya makelar yang tinggi, harus membayar utang, dan mesti menopang keluarga. Mereka tidak bisa pulang. Mereka tidak bebas,” kata Suster Wei Wei, salah seorang pegiat HAM dari organisasi Rerum Novarum Center.

“Manakala para pekerja migran melaporkan tindak kejahatan yang menimpa mereka, biasanya terlambat. Biasanya (pelaporan) terjadi bukan dalam periode emas, dalam kurun 72 jam setelah peristiwa terjadi sehingga dokter masih bisa mengambil sampel sperma dari tubuh mereka. Mereka mungkin diserang pada hari Selasa, namun mereka tidak melaporkannya sampai libur hari Minggu,” kata Suster Wei Wei.

Lanjutnya, banyak pekerja migran disuruh majikan mereka untuk mandi terlebih dulu setelah diserang secara seksual dan mencuci semuanya untuk memusnahkan bukti. Dengan demikian, yang kerap terjadi dalam kasus migran, buktinya kurang sehingga jaksa tidak pernah mengajukan tuntutan. Hanya segelintir majikan yang didakwa dan mereka biasanya hanya diberi sanksi atau mereka membayar korban dengan jumlah kompensasi yang kecil.

Setahun setelah bekerja di restoran, Bunga membayar utang-utangnya dan kabur. Dia kemudian menemukan dua pekerjaan lain dan bekerja secara ilegal tanpa melalui jasa makelar. Barulah ketika memutuskan meninggalkan Taiwan dan ditanya mengapa, dia mengungkap peristiwa yang dialaminya.

Seperti yang dialami para korban penyerangan seksual lainnya, dia langsung ditempatkan di sebuah lokasi penampungan dan didampingi pengacara. Namun, setahun kemudian, kasusnya terombang-ambing. Jaksa penuntut umum memutuskan tidak mengajukan tuntutan karena mereka meyakini klaim adik mantan majikan Bunga bahwa hubungan seksual terjadi atas dasar suka sama suka.

“Dia berani mengatakan itu terjadi atas kemauan bersama. Saya benar-benar merasa sakit. Saya harap dia dihukum atas apa yang dia lakukan kepada saya,” sebut Bunga.

Pengacara Bunga telah mengajukan banding. Namun, jika jaksa menolak membuka kembali investigasi, kasusnya akan ditutup. Karena merasa frustrasi, Bunga ingin menyerah dan pulang ke Indonesia.

“Saya ingin mendirikan usaha kecil dan memperkerjakan warga Indonesia sehingga kita bisa bekerja di Indonesia dan tidak harus pergi ke negara lain untuk bekerja,” pungkas Bunga. (*/stenly).