FGD AIPI JADI Angkat Waspada Hoax dan Delegitimasi Penyelenggara Pasca Pemilu

MANADO– Fenomena Hoax dan delegitimasi penyelenggara pemilu awalnya diprediksi hanya sampai pada saat pencoblosan. Namun, fenomena ini ternyata masih terus merajalela pasca pencoblosan sehingga dampaknya adalah keresahan sosial.

Hal itu terungkap dan menjadi kesimpulan saat Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Jaringan Demokrasi (JADI) Jumat (26/4/2019) di Manado.

Dimana tema FGD mengangkat Fenomena Hoax dan Delegitimasi Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan pembicara diskusi yaitu Gubernur Sulut Olly Dondokambey, Ferry Daud Liando Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Unsrat, Salman Saelangi Anggota KPU Sulut, Herwyn Malonda Ketua Bawaslu Sulut, Johny Suak koordinator JADI Sulut.

Gubernur Olly Dondokambey yang diwakili Kasatpol PP Steven Evans Liow mengatakan wajib bagi semua Komponen wajib memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan pemilu jujur adil dan demokratis.

“Perlu upaya kerjasama untuk mengantisipasi berita-berita hoax yang berpotensi menggagu tahapan pemilu,”jelas Liow.

Sementara Dosen Kepemiluan Ferry Daud Liando menambahkan beberapa faktor mengapa tindakan Hoax dsn delegitimasi itu sulit dihindari.

Pertama lanjutnya, UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu mensyaratkan parpol harus memiliki kursi 20 persen atau 25 persen suara sah nasional hasil pemilu sebagai syarat parpol mengusung calon Presiden dsn wakil Presiden. Syarat itu terlalu tinggi sehingga menyebabkan kontestan Pilpres sangat terbatas.

“Tahun ini hanya 2 Calon. Ini sangat berbahaya. Kompetisi terjadi head to head, lawan dan kawan bisa dengan mudah dikenali kemudian pemilih terpolarisasi pada 2 gerbong dan saling berharap-harap. Gesekan sulit di hindari dan menyebabkan permusuhan. Harusnya jumlah Capres jangan dibatasi,”terang Liando.

Kendati demikian, Dosen Unsrat itu menerangkan caranya adalah memperkaya angka parlement treshold. Tidak harus banyak parpol ke parlemen tapi semua parpol yang lolos sebaiknya bisa mengususng Capres.

Kedua, masa kampanye terlalu panjang. Padahal kampanye ternyata tidsk cukup efektif mempengaruhi pemilih karena kecenderungan yang pragmatis. Pemilih konflik bukan karena perbedaan idiolgi tetapi perbedaan dalam mengusung figur.

Ketiga, jangka waktu rekapitulasi terlalu panjang. Proses pencoblosan hingga pengumuman resmi memakan waktu satu bulan lebih. Ini meberikan kesempatan terjadinya kecurigaan,”tandas Liando

Sementara Ketua Bawaslu Herwyn Malonda mengungkapkan dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, harus diakui ada terdapat sejumlah hambatan dalam menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu.

Kerap tidak sinkron antara norma yang satu dengan norma yang lain. Terkait Hoax Malonda mengatakan tidak semua berita-berita yang berkembang itu adalah Hoax, sebab sebagian juga mengandung kebenaran.

Begitu pula Salman Saelangi anggota KPU Sulut mengakui, selama ini mereka kerap menjadi korban berita bohong. Sedang mengkaji sejumlah kasus apakah akan diproses atau tidak. Hal itu karena gaji anggota DPRD sangat besar sehingga banyak yang berkepentingan untuk Menang.

Diskusi dipandu Kepala Sekretariat AIPI MAnado Boy Paparang juga dihadiri oleh sejumlah pengurus parpol dan tim sukses capres, caleg, akademisi, Mahasiwa dan LSM semakin seru. Dimana Dr Tommy Sumakul mewarning agar penyelenggara harus diberikan pembinaan dan bimtek dengan benar agar kerja-kerja mereka profesional.

(srikandi)